APTI Khawatir Petani Rugi Karena Tarif Cukai Rokok

APTI Khawatir Petani Rugi Karena Tarif Cukai Rokok

Jakarta - Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) khawatir kebijakan penyederhanaan (simplifikasi) tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) atau cukai rokok akan merugikan petani dan pabrik skala kecil. Sebab, kebijakan simplifikasi tarif dinilai hanya akan menguntungkan pengusaha besar dan memungkinkan terjadinya monopoli. 

Simplifikasi tarif CHT sendiri merupakan pengurangan jumlah layer atau jenis rokok berdasarkan pengolahannya, misalnya, yang menggunakan tangan pekerja manual di industri kecil dan mesin di industri besar.

Dalam 10 tahun terakhir, pemerintah telah mengurangi jumlah layer rokok dari 19 layer pada 2011 menjadi 10 layer pada 2018.

Utamanya, pengurangan layer menyasar pada segmen rokok olahan tangan atau industri kecil. Bila industri segmen rokok ini tidak ada, maka hasil panen petani tembakau bisa tidak terserap.

"Pabrikan kecil dan menengah akan mati, tidak mampu melanjutkan produksinya. Otomatis pembelian bahan baku ke petani akan tersendat. Bisa juga, tembakau nasional dibeli dengan harga semurah-murahnya," kata Ketua APTI Jawa Barat Suryana, seperti dikutip dari Antara, Senin (7/9). 

Bahkan, ia memperkirakan simplifikasi hanya akan menguntungkan para pengusaha besar. "Pabrikan kecil akan kalah bersaing di market sehingga tidak mampu untuk mengejar ke golongan I dan II. Sekarang kan sudah oligopoli, nanti diberlakukan akan terjadi monopoli," ucapnya. 

Senada, Anggota Komisi IV DPR Firman Soebagyo melihat simplifikasi dan penggabungan volume produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) hanya akan menekan industri rokok skala kecil. Karenanya, ia menilai pemerintah sebaiknya menunda kebijakan simplifikasi pada tahun ini. 

"Kami minta dilakukan penundaan saat itu, karena dampaknya bisa dirasakan bertahap kepada pengangguran. Prediksi kami kalau tetap dilanjut, sentra-sentra tembakau di Jawa Timur dan Jawa Tengah seperti Kudus dan Malang akan habis," terang Firman.

Ia juga melihat kebijakan ini bisa melahirkan monopoli di industri rokok. Sebab, hanya perusahaan-perusahaan skala besar yang pada akhirnya bisa bertahan dengan kebijakan ini. 

Hal ini, sambung dia, terbukti dari porsi pangsa pasar yang tetap besar dikuasai oleh perusahaan raksasa rokok. Menurut catatannya, pangsa pasar rokok terbesar itu mencapai 33,4 persen pada 2017, 33,5 persen pada 2018, dan 32,2 persen pada 2019. 

"Dugaan saya akan oligopoli ini, lambat laun akan mengarah ke monopoli. Karena pabrikan rokok yang berada di golongan bawahnya tidak akan mampu melawan pabrikan raksasa," terang dia.


Sebelumnya, pemerintah sudah menerbitkan rencana kenaikan cukai di Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/PMK.01.2020 tentang Rancangan Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024.

Selain itu, pemerintah menargetkan perolehan CHT mencapai Rp172,75 triliun pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2021.

Berbanding terbalik dengan target penerimaan CHT yang kerap naik, volume produksi justru turun. Tercatat, produksi rokok sebanyak 341,73 miliar batang pada 2016, 336 miliar batang pada 2017, dan 332 miliar batang pada 2018.

Begitu juga dengan jumlah pabrik rokok, dari 1.540 pabrik pada 2011 menjadi 487 pabrik pada 2017. Penurunan terjadi karena beragam kebijakan mulai dari penyederhanaan struktur tarif, kenaikan tarif cukai, dan kenaikan Harga Jual Eceran (HJE).(rep05)

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index