HUT ke-14, Pemkab Kuansing Diminta Benahi Birokrasi

Senin, 14 Oktober 2013 | 01:33:00 WIB

TELUK KUANTAN - Menciptakan birokrasi pemerintah yang profesional dengan karakteristik, berintegrasi, berkinerja tinggi, bebas dan bersih dari KKN, mampu melayani publik, netral,sejahtera, berdedikasi, dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara.

Siapa yg paling efisien & unggul dalam mutu, maka merekalah yang akan menang. "Ini prinsip utama kalau kita mau survival bersaing didunia pasar terbuka," ujar pengamat kebijakan publik, Drs Suhendri.

Pertanyaan sekarang sudah kondusifkah keadaan sosiokultural kita untuk melahirkan manusia dengan produk yang bermutu? dilihat dari administrasi negara, jawabannya belum, sebab banyak variabel yang mendorong pada kesimpulan tersebut, antara lain, segala macam kompleksitas sudah terbukti hanya memberi tempat fungsi birokrasi, jika ingin efektif sebatas sekedar fasilitator & penyelenggara pelayanan publik sekaligis pencipta kondisi yg merangsang partisipasi masyarakat.

Jika itu disepakati, maka hal utama yg perlu berubah di dalam organisasi birokrasi tidak sekedar perampingan jalur birokrasi saja, akan tetapi yang lebih utama adalah perubahan mentalitas aparatnya dulu, dari mental minta dilayani menjadi pelayan publik, supaya bisa menjadi pendorong tumbuhnya inisiatif bukan sebaliknya jadi penghambat, karena apa-apa harus dengan duit atau menyogok. bagaimana keadaannya kini? rakyat tak terdidikpun masih bisa melihat situasi justru semakin parah birokrasi saat ini.

Banyak terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan kewenangan. " Lihat saja dibentuknya organisasi publik yang baru dipastikan terjadi pemborosan keuangan negara yg seharusnya bisa digabungkan dengan SKPD yang ada," kata Drs. Suhendri Msi kepada riauterkini.com usai HUT Kuansing Sabtu, (12/10/13) kemarin.

Menurutnya, sistem yang sekarang sulit bisa mendorong produktifitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah insentif gaji yg masih rendah. PNS golongan I &II hanya mampu memenuhi sekitar 30% kebutuhan minimal tiap bulan.

Golongan III & IV sekitar 40% memenuhi kebutuhan tiap bulannya, mungkin itu pula alasan banyak terjadi penyalahgunaan kewenangan, berkolusi untuk memenuhi kebutuhan, menipu begitu juga situasi seperti ini dimanfaatkan oleh pimpinan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.

"Kita lihat betapa banyaknya aparatur tersangkut masalah korupsi, bahkan seorang Ketua Lembaga terhormat seperti MK terlibat suap menyuap, Gubernur, Bupati dll," ujarnya.

Faktor lainya kata Suhendri, masih tingginya mental status quo PNS sementara diperlukan manusia yg kreatif yg penuh inisiatif, agar bisa dengan cepat menyelesaikan setiap permasalahan yang setiap hari berubah, tapi sudah berakarnya perasaan takut salah, membuat aparat tidak berani mengambil keputusan untuk hal-hal yang menjadi wewenangnya sekalipun.

Sudah ada Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) masih takut berbuat kalau belum ada Petunjuk Teknis (Juknis). "Inilah penyebab lambatnya aparatur dalam menyelesaikan masalah, akhirnya yang berkembang malah bentuk-bentuk neo-feodalisme dalam birokrasi dengan atasan yang super wewenang sesuka dia saja, inilah yg menjadi hambatan dlm pelaksanaan birokrasi," sindirnya.

Selain itu katanya, penciptaan kultur birokrasi yang merangsang partisipasi rakyat dengan aparat yang kreatif penuh terobosan, akan sulit dicapai jika tak ada perubahan dalam kelayakan gaji serta sistem pengembangan karier masih di dasarkan koncoisme dan nepotisme, sehingga berpengaruh kuat terhadap Kinerja aparatur tersebut, dan hal ini berdampak kepada hilangnya kepercayaan publik, masa bodoh, malas, dan turunnya marwah pimpinan dimata publik.

Lanjut Suhendri, faktor lainya yakni, setiap keputusan berbentuk peraturan atau Undang-undang terkait untuk kepentingan umum, idealnya harus disosialisasikan, uji publik terlebih dahulu agar tidak terjadi pemborosan keuangan negara. Banyak SOTK yang tidak efisien dan pemborosan, karena keangkuhan aparat untuk diisi dan menempatkan kroni-kroninya.

Ia mencontohkan seperti pembentukan SOTK Korpri, Badan Penghubung, Badan Pengelola Perbatasan." Menurut hemat kita perlu penggabungan dengan SKPD yang lain dianggap tidak efisien seperti BPA, Budsenipar, Dispora, Balitbang, Badan penyuluh, dan begitu juga Biro-biro yang seharusnya bisa disederhanakan /digabungkan," ungkapnya.

Faktor lainya beber Suhendri, birokrasi seharusnya berpihak pada rakyat, bukan sebaliknya malah menyulitkan rakyat. Dicontohkanya, pembuatan KTP yang berbelit- belit, lambat dan mahal, PLN yang hidup-mati membuat rakyat kecewa didalam pelayanan.

"Sampai sekarang kita melihat terlalu dominannya peran birokrasi dalam pembangunan telah menyuburkan tumbuhnya orientasi ritualisme berupa serimonial administratif yang tdk produktif, Penggunaan baju seragam dengan atribut-atribut status, upacara-upacara yang buang waktu, dan semua itu mirip rekayasa yang diintrodusir oleh raja untuk meningkatkan kesetiaan pada abdidalem yang sama sekali tak berkaitan dengan tuntutan produktifitas dalam masyarakat modern yang lebih menekankan pada profesionalitas.

Ini semua meruntuhkan ethos pelayanan publik aparat. tugas utama birokrasi tak lain hanyalah menumbuhkan partisipasi dan inisiatif masyarakat, karena itu peranan birokrasi yg utama hanyalah menciptakan peraturan- peraturan sehingga tercipta enabling setting yg dapat merangsang tumbuhnya kemampuan mandiri masyarakat.

"Yang terpenting dari semua itu adalah mental aparat harus dirubah sebab perampingan atau pemangkasan jalur birokrasi tak akan banyak gunanya jika mental aparat masih bergaya penguasa," tegasnya.

Oleh karena itu profesionalitas kompetensi aparat seringkali terabaikan, karena mentalitas pejabat/penguasa mementingkan kelompok-kelompok tertentu, kedaerahan, suku, keluarga dan sejenis dengan itu, sehingga memungkin kan untuk melakukan kolusi dalam berbagai hal yang akhirnya berujung pada tindakan penyalahgunaan kewenangan, dan implikasi lainnya adalah jabatan adalah uang, untuk mendapatkan jabatan harus dengan uang.

Sehingga patut dicurigai semua pengambil kebijakan sesuai tingkatan menggunakan cara seperti ini, akibat lainnya adalah masuk penjara karena terbukti melakukan korupsi dan sejenisnya. Itulah mentalitas aparatur kita yang harus dirubah dari mentalitas korup ke mentalitas beretika dan bermoral sesuai dg prinsip pemerintahan yaitu Good government and clean governance. dilansir riauterkini.com. (rep10)

Terkini