Ternyata Ini Alasan Mahfud Merasa Merasa Mual Baca Putusan MA soal Usia Calon Kepala Daerah

Ternyata Ini Alasan Mahfud Merasa Merasa Mual Baca Putusan MA soal Usia Calon Kepala Daerah

Jakarta - Mantan Menko Polhukam Mahfud MD mengkritik keras putusan Mahkamah Agung (MA) soal batas usia kepala daerah yang sangat kacau lantaran cacat etik dan hukum. MA telah mengabulkan gugatan Partai Garuda mengenai penambahan tafsir usia calon kepala daerah.

Putusan Nomor 23 P/HUM/2024 yang diumumkan pada Rabu (29/5) mengubah batas usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur dari 30 tahun saat penetapan pasangan calon menjadi setelah pelantikan. MA lantas memerintahkan KPU untuk mencabut aturan perihal batas usia calon kepala daerah.

"Bukan hanya cacat etik, cacat moral, tapi juga cacat hukum. Kalau berani lakukan saja ketentuan Pasal 17, UU Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan setiap putusan yang cacat moral saja, apalagi cacat hukum, tidak usah dilaksanakan," kata Mahfud di kanal YouTube Mahfud MD Official, Selasa (4/6).

Lebih jauh Mahfud mengaku merasa mual ketika mendengar MA mengabulkan gugatan tersebut. Baginya, putusan itu menunjukkan cara hukum di Indonesia sudah busuk. "Saya sebenarnya sudah agak males komentar ini. Satu, kebusukan cara kita berhukum lagi untuk dikomentari sudah membuat mual. Sehingga saya berbicara oh ya sudah lah apa yang aku mau lakukan aja, merusak hukum," kata dia.

Mahfud menegaskan tak ada alasan MA untuk mengabulkan gugatan soal batas usia calon kepala daerah tersebut. Sebab, Peraturan KPU (PKPU) yang telah dibuat sudah sesuai dengan Undang-undang (UU) tentang Pilkada. Namun, ia heran MA justru menilai PKPU itu dianggap bertentangan dengan UU.

"Kenapa? Dia [MA] memutuskan atau membatalkan satu isu Peraturan KPU yang sudah sesuai dengan UU tetapi dinyatakan bertentangan dengan UU," kata Mahfud.

"Ini tiba-tiba dibatalkan karena katanya bertentangan. Loh bertentangan dengan yang mana? Lho wong peraturan KPU sudah benar. Kalau memang itu mau diterima putusan MA berarti ia membatalkan isi UU sedangkan menurut hukum, konstitusi kita, MA tidak boleh melakukan judicial review atau membatalkan isi UU," tambahnya.

Mahfud menilai kecurigaan masyarakat memang menjadi konsekuensi logis dari tindakan-tindakan selama ini yang dilakukan melalui eksekutif atau yudikatif. Yang mana, cacat, melanggar etik berat, sehingga membuat masyarakat mengasosiasikan ini jadi curiga.

"Sehingga, timbul Mahkamah Kakak (MK), Mahkamah Anak (MA), Menangkan Kakak (MK), Menangkan Adik (MA), muncul berbagai istilah itu, itu konsekuensi, jadi bahan cemoohan di publik, sehingga kita pun malas lah mengomentari kayak gitu-gitu, biar nanti busuk sendiri, ini sudah busuk, cara berhukum kita ini sudah busuk sekarang," ujar Mahfud. **

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index