Ki Hadjar Dewantara, Melawan dengan Diam

Ki Hadjar Dewantara, Melawan dengan Diam
Ki Hajar Dewantara
Jakarta - Suwardi Surjaningrat berdarah biru. Lahir pada 2 Mei 1889, ia merupakan cucu Paku Alam III. Kelak, ketika usianya menginjak 40, ia bersalin nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. 
 
Pendidikan memang identik dengan dirinya. Bersama rekan-rekan seperjuangan, ia mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta. 
 
Sekolah pertama yang didirikan adalah taman indria (taman kanak-kanak) dan kursus guru, kemudian diikuti taman muda (SD), dan taman dewasa (SMP merangkap taman guru). Setelah itu, diikuti pendirian taman madya (SMA), taman guru (SPG), prasarjana, dan sarjana wiyata. Dalam waktu 8 tahun, Perguruan Tamansiswa telah hadir di 52 tempat.
 
Perkembangannya yang pesat memantik kecemasan Pemerintah Belanda sehingga mengundang dikeluarkannya Undang-Undang Sekolah Liar (Onderiwijs Ondonantie) pada 1932. UU itu menyatakan sekolah swasta harus beroperasi dengan izin pemerintah, mesti menggunakan kurikulum pemerintah, dan para guru harus tamatan dari sekolah guru pemerintah.
 
Bila UU itu dilaksanakan, Perguruan Tamansiswa akan tutup. Sebab, sebagai sekolah swasta, Tamansiswa menggunakan kurikulum sendiri dan pamong (guru) dari sekolah guru sendiri.
 
Menghadapi tekanan ini, ia mengirim telegram kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Bogor. Telegram itu dikirim pada 1 Oktober 1932, persis di hari pertama pemberlakukan UU tersebut. 
 
Petikannya, "...makhluk yang tak berdaya mempunyai insting untuk menangkis bahaya guna menjaga diri dan demikianlah juga boleh jadi kami terpaksa akan melakukan perlawanan sekuat-kuatnya dan selama-lamanya dengan cara tenaga diam."
 
Batin yang Merdeka
 
Menurut Ki Hadjar, mengajukan protes hanya efektif jika kedua pihak setara, memiliki hak yang sama. Maka, melawan dengan diam. "Dalam batin, kita harus terus merdeka, tidak mengakui kekuasaan lawan," tulis Darsiti Soeratman, penulis biografi Ki Hajar.
 
Menghadapi perlawanan ini, pemerintah kolonial terpaksa mengirim utusan untuk berunding. Ketika perundingan berlangsung, sejumlah cabang Tamansiswa ditutup. Korban pertama dalah cabang Cikoneng, Jawa Barat. Pemimpinnya didenda 5 gulden atau 5 hari penjara.
 
Ki Hadjar menyerukan kepada pengelola Tamansiswa tetap terus menjalankan sekolah. Pamong yang ditangkap dan tidak boleh mengajar karena tidak berijazah guru pemerintah langsung diganti dengan pamong lain.
 
Bila ada penutupan sekolah, denda, atau hukuman penjara bagi pengelola, akan diadakan penyelidikan. Hasil penyelidikan akan dimuat dalam surat kabar sehingga rakyat sendiri yang nanti menilai kelayakannya.
 
Masalah ini akhirnya dibawa ke Volksraad (semacam parlemen masa kolonial, dengan sejumlah kaum pribumi sebagai anggota). Setelah melewati perdebatan panjang, UU ini ditunda selama 1 tahun.
 
Lalu, akhirnya pemerintah kolonial dan Volksraad menyusun UU baru yang jauh lebih bersahabat. Misalnya, tak diperlukan lagi izin dari pemerintah. Tamansaiswa terus berkembang dan Ki Hadjar menjadi tokoh pendidikan termashyur.
 
Pada 16 Desember 1959, pemerintah RI menetapkan hari kelahiran Ki Hadjar sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ia wafat pada 26 April 1959. Ribuan orang mengantar jenazahnya menuju pemakaman Wijaya Brata, Yogyakarta.(rep01/l6c)

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index