Memaknai HUT TNI

Mencari Jejak Jenderal di Era Reformasi

Mencari Jejak Jenderal di Era Reformasi


Jakarta - Para orang tua aktivis dan mahasiswa reformis angkatan 1998 rata-rata kecewa melihat hasil perjuangan anak-anak mereka. Hasil perjuangan mereka melalui demontrasi, akhirnya hanya dinikmati segelintir elit termasuk sejumlah jenderal.

Mahasiswa dan aktivis yang berdarah-darah, tapi mereka yang tidak berjuang, para elit termasuk para jenderal. justru hidup nyaman sebagai miliarder. Tidak cukup sampai disitu, mereka kemudian masih mengklaim sebagai pahlawan reformasi, Sementara para mahasiswa dan aktivis yang berdarah, dipinggirkan.

Padahal di puncak krisis politik nasional, tak satupun jenderal atau prajurit yang berani angkat suara tentang perlunya reformasi. Sebab mereka merupakan bagian dari rezim dan kekuasaan yang represif dan otriter.

Sementara para putra-putri demonstran, yang hanya bermodalkan idealisme dan hati nurani, tidak sekadar bersuara. Mereka berani mengambil risiko menuntut Jenderal Soeharto, orang terkuat di Indonesia pada waktu itu, agar turun dari kekuasaan dan jabatan presiden.

15 tahun lalu, sikap itu sama dengan mempertaruhkan nyawa sendiri bahkan seluruh anggota keluarga. Pasalnya sikap itu sudah merupakan sikap yang melanggar tabu. Sikap itu sudah masuk kategori makar yang ancaman pidananya berupa hukuman mati.

Ketika posisi politik Jenderal Soeharto masih kuat, para jenderal dan prajurit bersenjata masih berseberangan dengan para aktifis dan mahasiswa. Tapi begitu Soeharto melemah bahkan akhirnya jatuh dari kekuasaan, situasinya berubah dengan cepat. Jenderal dan para prajurit menjadi satu aspirasi dan seperjuangan dengan para mahasiswa dan aktivis. Soeharto menjadi musuh bersama.

Dalam "Peristiwa Trisakti" Mei 1998, tidak sedikit mahasiswa dan aktivis yang hanya menuntut perubahan dalam sistem membangun bangsa, dihadang oleh prajurit bersenjata. Ketika situasi memanas, para mahasiswa dan aktivis, ditendang dengan sepatu lars, dipukul laras senjata, disiram gas air mata bahkan ancaman ditembak. TNI bersenjata lengkap, mahasiswa bertangan kosong.

Situasi panas, memancing anarkisme. Ketika terjadi anarkis, "clash" antara pemprotes dan para prajurit, tak terelakkan. Pelemparan batu dan pembakaran mobil atau apa saja yang bisa dihancurkan, bahkan perkelahian, mewarnai insiden Mei 1998 itu.

Para aktivis dan mahasiswa reformis berhadap-hadapan dengan para prajurit yang ditugaskan atasan menjaga kekuasaan. Mahasiswa berada pada posisi anti rezim militer Soeharto sementara para prajurit TNI memposisikan diri sebagai anak prajurit pembela Soeharto, rezim yang berkuasa.

Dalam situasi seperti itu, tidak satupun jenderal, komandan yang turun ke lapangan untuk meredakan situasi. Apalagi merangkul anak-anak muda yang sudah tersakiti, dalam rangka memberi kesejukan.

Insiden Trisakti yang merupakan penentu reformasi, setelah 15 tahun, saat ini semakin terlupakan. Padahal ekses reformasi itu juga membuat sejumlah mahasiswa, mahasiswi dan aktifis, cacat didera cidera dan kehilangan masa depan. Bahkan ada yang terbunuh. Pelanggaran HAM oleh militer pada Insiden Trisakti 1998, hingga sekarang tak ada lagi yang mengutak-utik. Insiden Trisakti merupakan antiklimaks demonstrasi mahasiswa dan para aktivis. Sebab tak lama setelah itu, pada 21 Mei 1998, Jenderal Soeharto, akhirnya memutuskan berhenti dari jabatan Presiden RI.

Soeharto saat itu juga digantikan oleh tokoh sipil, BJ Habibie sebelumnya menduduki posisi wakil presiden. Soeharto semenjak lengser, langsung menjadi rakyat biasa. Sepuluh tahun kemudian meninggal dunia. Sekalipun sudah meninggal, perannya sebagai petinggi militer yang telah melahirkan banyak jenderal, masih menyisakan berbagai kontroversi.

Di antara kontroversi itu adanya jenderal yang jelas-jelas menduduki posisi pengambil keputusan yang menyengsarakan rakyat, tetapi tetap bebas sebagaimana layaknya orang yang tidak punya kesalahan dan tanggung jawab. Sejumlah jenderal kalau disebut, saling melempar tanggung jawab.

Manusia Indonesia memang gampang lupa. Manusia Indonesia juga katanya cepat memberi maaf. Situasi inilah yang berkembang saat ini. Para jenderal dan prajurit yang pernah terlibat dalam Insiden Trisakti, kini berusaha menjadi Presiden. Ingin mengikuti jejak Soeharto.

Tak bisa dipungkiri, keinginan itu sangat dipengaruhi oleh pengalaman Soeharto sebagai Presiden selama 32 tahun (1966 - 1998). Bahwa Soeharto bisa berkuasa selama itu, seakan memberi inspirasi kepada sejumlah jenderal. Bahwa profesional militer lah, yang paling layak menduduki kursi RI-1. Sementara warga Indonesia lainnya yang berasal dari luar lingkungan TNI atau militer, termasuk para aktivis dan mahasiswa reformis, cukup menjadi rakyat jelata saja.

Untuk membenarkan persepsi itu, lalu yang digaung-gaungkan adalah TNI merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki sistem pengkaderan dan disiplin terbaik di antara semua lembaga yang ada. TNI sangat patuh pada sumpah prajurit. Sumpah itu pada intinya menegaskan setiap anggota TNI setia pada Konstitusi 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara.

Menjelang Pemilu Presiden 2014, sejumlah jenderal termasuk yang pernah menjadi perpanjangan tangan kekuasaan Soeharto, muncul dengan berbagai persiapan untuk merebut posisi RI-1. Agar persiapan itu dianggap wajar, Para Pencari Jabatan Presiden (PPJP) itu melakukan lobi dan pendekatan dengan jargon ingin mengabdi kepada bangsa.

Tujuannya sih baik. Yaitu membangun dan memperbaiki Indonesia. Tetapi bahasanya terlalu klise. Niat untuk mengabdi kepada bangsa dan Negara, dengan cara menjadi Presiden, sepatutnya dilihat sebagai sebuah obsesi yang baik. Sehingga siapapun yang cinta Indonesia patut mendukung dan menyambutnya dengan positif.

Tetapi sesungguhnya, kalau hanya sebatas itu pernyataan, hal itu tidak cukup. Kalimat itu, bagi para aktivis dan mahasiswa reformis sudah tidak menarik lagi. Ibarat materi promosi, pencitraan dengan jargon seperti itu, sudah kuno.

Oleh sebab itu PPJP perlu mencari alasan lain. Perlu lebih jujur dan terbuka. Kalau tidak masyarakat akan menyoal rekam jejak mereka. Kejujuran dan keterbukaan yang belum dilakukan oleh sejumlah elit jenderal saat ini adalah soal gaya hidup.

Secara kasat mata, masyarakat menyaksikan, setiap prajurit yang sudah berpangkat jenderal, selalu identik dengan orang kaya. Lihat saja mantan KSAD yang kini menjadi Panglima TNI.

Kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sang jenderal melaporkan bahwa kekayaan uangnya mencapai puluhan miliar rupiah. Padahal kalau penghasilannya lewat gaji bulanan yang dijadikan tolok ukur, tidak mungkin sang jenderal menjadi miliarder seperti itu.

Contoh lain Presiden SBY. Banyak kalangan yang mempertanyakan secara diam-diam, bagaimana caranya sehinga SBY bisa memiliki "istana" di kompleks perumahan Cikeas.

Lagi-lagi kalau ukuran gaji bulanannya yang dijadikan ukuran, sekalipun SBY pernah menjadi Kepala Staf Teritorial Mabes ABRI (TNI), Pangdam/Sriwijaya dan Kasdam Jaya, jika mengandalkan gaji, tampaknya akan sulit untuk membangun sebuah rumah sekelas yang ditinggalinya sekarang.

Nah jangan sampai salah satu sasaran perjuangan seseorang memenangkan kursi Presiden di 2014, semata-mata karena di sana sudah menunggu sejumlah gratifikasi yang jumlah atau nilainya "ajubile". dilansir inilah.com. (rep10)
 

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index