Arah Partai-partai Nasionalis Menuju 2014

Arah Partai-partai Nasionalis Menuju 2014

Jakarta - Nasionalisme di Indonesia mewujud dalam ideologi partai-partai politik yang saling bersaing dewasa ini. PDIP, Hanura dan Gerindra bisa dikategorikan sebagai parpol berpaham nasionalisme sekuler, sedangkan PAN, Demokrat, Golkar dan PKB lebih mengindetifikasi diri sebagai parpol berpaham nasionalisme religius. Sementara PKS dan PPP berpaham Islam. Bagaimana prospeknya ke depan?

Dalam konteks pilpres 2014, Presiden Yudhoyono pernah berharap Presiden 2014 mendatang berasal dari sipil dengan ideologi nasionalis religius. Sedangkan untuk wakil presiden (wapres), bila memang tidak ada sipil, bisa dari kalangan eks militer berjiwa nasionalis religius pula. Hal itu disampaikan SBY April 2013 .

Dalam merespon percikan pendapat SBY ini, Partai Gerindra menilai menjadi hak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk berharap calon presiden (capres) pada 2014 sebaiknya dari sipil. Namun, semua ditentukan oleh pilihan rakyat.

"Saya kira sah-sah saja. Tapi nanti yang akan memilih rakyat. Mau sipil atau eks militer, perempuan atau laki-laki itu kan urusan rakyat yang memilih," kata Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon. Lebih penting adalah kemampuan capres menangani masalah bangsa.

Para analis melihat, ideologi nasionalisme berwajah dua yakni nasionalisme religius, yang bisa dibaca pada karakter dan corak ideologis PAN, Partai Demokrat, PKB dan Golkar, sementara PDIP Hanura, dan Gerindra lebih condong meyakini nasionalisme sekuler.

Sedangkan PKS dan PPP berideologi Islam bervisi kebangsaan. Semuanya sah dan boleh saja, reformasi membuka diri bagi berbagai ideologi. Namun ideologi negara adalah Pancasila dan itu sudah final bagi kita.

Pada 2014 adalah tahun politik, dipastikan akan menjadi tahun pertarungan yang sengit antara “kubu sipil” vis a vis dengan “kubu militer” dalam gelaran pemilihan presiden.“Kubu militer” sebagian telah mendeklarasikan calon presidennya.

Dari Gerindra nama Prabowo yang diusung. Hanura tidak mau kalah cekatan juga sudah resmi mencalonkan Wiranto sebagai capresnya. Tinggal menunggu Demokrat. Kemungkinan besar konvensi Demokrat juga akan memunculkan capres dari kalangan militer, Pramono Edhi Wibowo, mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) yang sekaligus adalah adik ipar SBY.

Sementara itu “kubu sipil” masih terlihat malu-malu kucing menampilkan jagonya. Baru PAN yang mengajukan Hatta Rajasa dan Golkar yang secara resmi mengusung Aburizal Bakrie sebagai capresnya. PDI-P sebagai “partai sipil” besar lainnya belum berani memunculkan nama calon, meski Megawati Soekarnoputri menjadi alternatif utama. Tapi hampir dapat dipastikan PDI-P akan mencapreskan seorang sipil sebagai kandidat presidennya.

Kini tiga poros besar sedang mengumpulkan energi dan berusaha memenangkan pemilu legislatif 2014 yaitu PDI Perjuangan, Golkar dan Demokrat, yang kesemuanya kubu Nasionalis.

Menarik untuk disimak, adu kuat kubu-kubu nasionalis ini, manakah yang nantinya akan memenangi kontestasi pemilihan presiden tahun 2014 mendatang? PDIP, Golkar dan Demokrat hampir dalam berbagai survei disebut paling bersaing ketat untuk membentuk poros utama seraya menawarkan koalisi menuju pencapresan 2014.

Dalam hal ini, untuk capres 2014, sebaiknya dihindari dikotomi sipil dan militer. Sebab itu tak produktif dan yang penting justru siapa sosok paling berkualitas, terlepas dia sipil atau militer, sama saja.

Sebagian analis menilai, kartu truf ada di tangan PDI-P dan Demokrat. Para analis melihat, calon Golkar Aburizal Bakrie masih terus berjuang dan didukung partai besar dengan dana tanpa batas. Tingkat elektabilitasnya dalam sejumlah survei tidak terlalu rendah meski ia belum mampu menandingi calon dari “kubu militer” sekelas Prabowo atau Wiranto.

Dalam hal ini, Jusuf Kalla, Hatta Rajasa, Rizal Ramli, Aburizal Bakrie yang kebetulan dari luar Jawa, dalam berbagai survei disebut sebagai kepemimpinan alternatif yang perlu terus didorong menggaungkan gagasan ekonomi-politiknya di ruang publik. Mereka setara dengan para pemimpin sipil Jawa seperti Megawati Soekarnoputri, Mahfud MD, Soekarwo, Ahmad Heryawan, Sri Sultan HB X, Gita Wirjawan, Suryadarma Ali dan kalangan sipil lainnya.

Para kandidat dari luar Jawa itu juga setara dengan calon-calon dari kalangan militer seperti Wiranto, Prabowo dan Pramono Edhie Wibowo, yang juga masih dipertimbangkan rakyat.

Terkait fenomena Jokowi, sesungguhnya ia lebih mengesankan tradisionalisme Jawa, namun karena ia juga berhaji dan mengindentifikasi diri dengan nasionalisme sekuler PDIP, maka sosoknya lebih mengesankan sebagai seorang Marhaen yang religius.

Seperti studi Prof Bambang Pranowo dari UIN Jakarta, proses religiusisasi atau Islamisasi di kalangan Muslim abangan dan priyayi sangat deras sejak 1980-an sampai hari ini sehingga klaim ‘religius’ bukan lagi dominasi kaum santeri. Kalangan nasionalis sekuler seperti Megawati, Jokowi, Ganjar Pranowo dan sebagainya, lebih identik dengan kaum politisi religius sebab praktik kehidupan keseharian dan tradisi berumrah/berhaji mereka jalankan sebagaimana yang dilakukan kaum politisi santeri PAN, Golkar, Demokrat, PKB dan seterusnya.

Namun publik dan kaum sipil mencatat, apa yang pernah diucapkan oleh mendiang Romo Y.B Mangunwijaya puluhan tahun silam. “Bahwa tentara itu sulit berjiwa demokratis, sebab tentara itu kala berunding memakai 2 “mulut”, yang pertama mulut beneran, yang ke dua, kalau kesepatan tidak tercapai ia akan cenderung memakai “moncong” senjata!”

Ucapan ini ada benarnya, bagaimanapun seorang militer dididik untuk bersikap hitam putih, selalu mengatakan siap laksanakan dan tidak suka membantah atau dibantah. Oleh sebab itu pendidikan yang demikian kaku tanpa sadar akan mempengaruhi pikiran bawah sadarnya untuk memiliki kecenderungan main perintah dan kurang bisa berdialog.

Banyak pihak sangat berharap kubu sipil yang memenangi kontestasi ini. Bukankah kita sedang bermimpi untuk berusaha membangun sebuah “civil society” dan bukannya “military society?” Namun demikian, semua terpulang kepada rakyat untuk memilih capres idolanya nanti, dan suara rakyat adalah suara Tuhan yang bakal menentukan siapakah capres yang bakal menang.

Seperti studi Herbert Feith dalam ''Indonesian Political Thinking 1945-1965'', kaum nasionalis dan paham aliran politik Nasionalisme merupakan kekuatan terbesar dalam kancah politik di Indonesia. Dalam hal ini, capres nasionalis (apakah itu nasionalisme religius atau nasionalisme sekuler) diprediksi yang bakal menang, bukan Islamis, karena mayoritas rakyat bervisi nasionalisme, bukan Islamisme.

Apalagi Islam politik di Indonesia relatif memudar dewasa ini seiring merosotnya daya tarik ideologi agamis ini karena tak ada tokohnya yang mumpuni seperti Mohamad Natsir di masa era Demokrasi Parlementer 1950-an yang lalu. seperti dilansir inilah.com. (rep10)
 

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index