Inilah Akar Penyebab Kebakaran Hutan di Riau

Inilah Akar Penyebab Kebakaran Hutan di Riau
Jakarta - Tim Gabungan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) melakukan audit kepatuhan terhadap perusahaan perkebunan dan kehuatanan yang ada di Riau. Audit dilakukan guna mencari akar permasalahan penyebab kebakaran hutan yang kerap terjadi di Riau.
 
Melalui surat elektronik yang diterima detikcom, Selasa (14/10/2014), Kepala UKP4 Kuntoro Mangkusubroto mengatakan audit adalah salah satu dari 13 rencana aksi yang disepakati guna mencegah kebakaran hutan dan lahan secara nasional. Aksi ini dipantau langsung Wakil Presiden Boediono. 
 
"Pemilihan Riau dikarenakan wilayah ini memiliki tingkat hotspots yang tertinggi di Indonesia pada periode 2 Januari-13 Maret 2014," tulis Kuntoro.
 
Dari penelitian yang dilakukan, tim mengaudit 17 perusahaan, diantaranya 5 perusahaan perkebunan dan 12 perusahaan kehutanan. Hasil audit menunjukan mereka tergolong tidak patuh dalam pemenuhan kewajiban minimum, berdasarkan ratio persentase yang digunakan auditor. 
 
Tidak ada satu perusahaanpun yang memenuhi seluruh kewajibannya sebagaimana tercantum dalam berbagai legislasi yang ada saat ini, terdapat 97 kewajiban minimum untuk perkebunan, 122 kewajiban minimum untuk kehutanan dan 67 kewajiban untuk pemerintah daerah.
 
Kewajiban yang umumnya belum terpenuhi adalah terkait aspek sarana prasarana (Sapras), biofisik, sistem deteksi dini dan Sumber Daya Manusia (SDM). Sebagai ilustrasi, seluruh perusahaan perkebunan yang diaudit terdapat perusahaan yang sarana prasarananya pencegahan dan penanggulangan kebakaran terletak di luar konsesi karena belum dibangun camp di wilayah tersebut. 
 
Contoh lain menunjukkan bahwa terdapat perusahaan yang memiliki sarana prasarana dukungan pemadaman kebakaran tetapi tidak sesuai dengan kondisi geografis wilayah konsesi, misalnya memiliki mobil pemadam tetapi kondisi geografis wilayahnya tidak memungkinkan kendaraan tersebut mencapai berbagai wilayah konsesi.
 
Secara umum, terdapat beberapa temuan dari pelaksanaan audit tersebut, yaitu seluruh perusahaan menjalankan kegiatan di atas gambut dalam yang rawan kebakaran. "Berdasarkan penelaahan peta, penelitian lapangan, pemeriksaan yang dilakukan terhadap dokumen lingkungan hidup dan pengambilan sampel menunjukan bahwa 17 (tujuh belas) perusahaan beraktivitas di atas wilayah gambut dalam yang rawan kebakaran. Gambut dalam memiliki kateristik mudah terbakar dan mampu menyimpan api sehingga budidaya di atas kawasan tersebut harus dilakukan secara sangat hati-hati," ujar Deputi VI UKP IV Mas Achmad Santosa.
 
Selain itu, perusahaan dinilai tidak mampu menjaga konsesinya dan ini terkait erat dengan kebakaran hutan dan lahan. "Dalam wilayah konsesi hampir seluruh perusahaan yang diaudit terdapat wilayah yang secara de facto diduduki, dan dikuasai oleh masyarakat. Kondisi tersebut terjadi karena peran aktif masyarakat sendiri maupun sebagai akibat dari tidak dilakukannya penjagaan dan pengelolaan konsensi secara aktif oleh perusahaan," kata Ota, sapaan akrab Mas Achmad Santosa.
 
Seluruh perusahaan juga tidak melibatkan masyarakat dalam upaya pemadaman kebakaran hutan dan lahan. "Masih terdapat perusahaan yang belum melakukan pembinaan masyarakat sekitar untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran," kata Ota.
 
Selain audit perusahaan, UKP4 juga menemukan ketidaksiapan pemerintah setempat dalam melakukan pencegahan kebakaran hutan, seperti tidak dilakukannya pengawasan terhada perusahaan. Hal tersebut terungkap dari jarang dilakukannya pengawasan kepatuhan terhadap perusahaan. Bahkan terdapat perusahaan yang tidak pernah didatangi oleh Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD), Dinas Pertanian dan Kehutanan secara langsung. Bahkan beberapa BLHD tidak memiliki dokumen-dokumen terkait dari perusahaan yang harusnya diawasi
 
Faktor lainnya adalah belum optimalnya perlindungan dalam tata ruang. "Berdasarkan pemeriksaan, belum seluruh kawasan gambut dalam dimasukan dalam kawasan lindung dalam peta RTRW Daerah. Selain itu, terhadap beberapa konsesi di kawasan gambut dalam tidak dilakukan pengawasan yang ketat sehingga kerap terjadi kebakaran," beber Ota.
 
Pemerintah Daerah juga belum mengetahui seluruh kewajiban pencegahan dan penanggulangan kebakaran. "Seluruh kabupaten/kota yang menjadi objek audit belum mengetahui kewajiban yang harus mereka penuhi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku," ujar dosen Fakultas Hukum UI yang mengawali karirnya di hukum publik (public interest lawyer) ini.
 
Dari hasil audit tersebut, terdapat beberapa rekomendasi dalam upaya pencegahan kebakaran hutan. Di tingkat hulu, pada saat pemberian izin maka pemberi izin wajib mempertimbangkan kawasan gambut dalam. Dalam jangka pendek, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) perlu memasukan wilayah gambut dalam sebagai wilayah kawasan lindung.
 
"Di tingkat hilir, untuk wilayah yang izinnya terlanjur diberikan, perlu adanya pengawasan yang intensif. Hal tersebut dapat dilakukan dengan penguatan kelembagaan dan peran pejabat pengawas yang mempunyai kewenangan melakukan pengawasan. Apabila perusahaan tidak memenuhi kewajiban dalam melindungi kawasan gambut dalam khususnya dalam tata kelola air untuk memastikan gambut tidak terbakar maka upaya penegakan hukum, baik administrasi, perdata maupun pidana, perlu dilakukan secara tegas," katanya., seperti yang dikutip dari Detik.com. (rep01)

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index